Kamis, 18 Agustus 2016

71 Tahun Indonesia Merdeka : Move On atau Setia?



Aku mencoba mengetuk hati ku sendiri. Aku bertanya, apakah aku ingin move on atau tetap setia? Itu bukanlah pertanyaan lelucon pemuda saat sedang putus cinta. Bukan virus baper karena si dia atau hal-hal alay kekinian. 

Tapi aku bertanya, mencoba khusyuk mejawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku sudah move on atau tetap setia. Pertanyaan tersebut sangat sulit ku jawab. Bagaimana tidak sulit jika aku sendiri masih mempertanyakan kecintaan ku pada dirinya. Sudahkah aku mencintainya, mengorbankan tenaga jiwa dan raga kepadanya atau justru aku mencela serta menyesali takdir ku bersamanya. 

Kemudian pertanyaan aneh nya adalah jikalau pun aku sudah move on atau katakanlah melupakannya dan ingin meninggalkannya apakah ada yang seperti dia, apakah ada yang seindah dia dan apakah aku bisa diterima oleh yang lain seperti dia menerima ku atau seperti takdir yang telah ditentukan Allah.
Tidak... pasti sangat sulit, bahkan nyaris mustahil aku bisa move on dari dia. Tatapi aku tak tahu bagaimana caranya setia kepada dia. 

Kira-kira itulah pertanyaan untuk diriku. Aku yang menganggap rentetan-rentetan perjuangan pendahulu sebagai dogeng sebelum tidur. Akulah pula orang yang tidak menghargai guruku ketika tengah mengingatkan ku betapa aku harus beruntung bisa menjalani takdir di negeri ini. Ataupun lebih kejamnya lagi, aku menyebut mereka yang mencintai rentetan peristiwa perjuangan tersebut sebagai orang-orang gamon (gagal move on).

Kenapa harus mencintai dogeng, padahal dogeng hanya rekaan bahkan semua orang dapat menuliskannya. Kenapa harus mempelajari hal-hal yang sudah berlalu toh yang penting masa depan. Sejarah itu abstrak bagaimana bisa membuktikannya, ilmiah dong. Kenapa harus menghapal rentetan peristiwa yang membingungkan hanya untuk mendapatkan angka tinggi di selember kertas. 

Beginikah aku? Beginikah pemuda yang diwasiatkan meneruskan perjuangan untuk mengisi kemerdekaan? Mungkin para pahlawan tengah merintih sedih karena perjuangan berdarah-darah mereka dihina dan diinjak-injak  pemuda yang tidak tahu cara berterima kasih seperti aku. 

Aku tidak mau tahu tentang cerita perjuangan mereka karena aku tidak mengikutinya dari awal. Aku tidak tahu jika dalam menuliskan serentetan peristiwa sejarah memiliki metode yang terotitis. Tidak sembarang menceritakan kembali. Aku pun tidak sadar bahwa kisah perjuangan para pahlawan maupun tokoh yang ikut berpartisipasi dalam dunia sejarah, dapat ku ilhami. aku dapat belajar bagaimana menjadi pemuda yang tangguh, memiliki toleransi tinggi dan berjiwa patriotik. Tidak hanya sekedar duduk manis menyaksikan kebobrokan moral di zaman ku saat ini atauh bahkan moral ku sendiri pun ikut tumbang dimakan waktu hanya karena kebodohan ku melupakan sejarah. 

Bagaimana aku bisa mengenal dunia kalau negara ku saja ku lupakan? 

Aku tidak tahu kegigihan serta semangat kerajaan-kerajaan baik itu Hindu-Buddha maupun Islam dalam misi memperluas daerah kekuasaannya atau memperluas wilayah nusantara yang menjadi cikal bakal terbentuknya tanah air ku Indonesia. Aku tidak ingat betapa kejamnya kaum imperialis mengeksploitasi hal-hal  yang menjadi hak pribumi. Tetapi justru karena mereka pula aku terkagum-kagum dengan semangat kaum terpelajar umtuk mempersatukan nusantara dengan satu nama yang di dalamnya telah tersusun secara sistematis syarat-syarat de facto dan de jure agar dikenal sebagai satu negara yaitu Indonesia. Bahkan setelah merdeka pun, para pejuang masih digoncang oleh teror-teror para penjajah. Semangat patriotik itu tidak akan mudah dilupakan, sungguh bodoh jika aku move on dari kisah perjuangan yang lebih dari sekedar dogeng sebelum tidur. 

Banyak fakta-fakta yang mengunguncang jiwa hingga menyayat hati. Atau bahkan ada fakta yang disembunyikan di balik kisah yang telah dijalani hingga 71 tahun saat ini. Tidak pernah ada yang tahu jika aku hanya didikte oleh seonggok buku pengantar belajar. 

Aku sadar bahwa aku hanya belajar menurut tuntutan nilai semata hingga aku tidak sepenuh hati mencintai tanah air ku dan bangsaku. Aku hanya mencemooh kerusakan-kerusakan di tanah air ku tanpa ada usaha atau hanya sedikit saja niatan untuk memperbaikinya. 

Sehingga aku pun mengerti  sulit sekali menyusun potongan kertas yang telah dirobek-robek. Tapi dengan sedikit saja tambahan usaha mungkin bisa kembali walau yang tersisa hanya barisan kalimat acak yang absurd dan menciptakan keambiguan.  Mungkin begitulah pemahamanku tentang sejarah. Ada hal-hal aneh yang sering ku pertanyakan dan aku bahkan bingung harus percaya kepada siapa. 

Bagaimanapun acuh nya aku terhadap negara ini, aku telah menghabiskan hidup ku disini. Meminjam nama Indonesia sebagai identitas. Jika aku bukan Indonesia mungkin aku bukanlah yang sekarang. Bukanlah menjadi kemajuan bahkan mungkin kemunduran yang ku alami. Bersyukur aku masih menjadi penduduk mayoritas. Menjadi penduduk terbesar di dunia sebagai pemeluk Islam terbesar di dunia, meskipun kadang aplikasi dari ajaran agama Islam di tanah tumpah darahku masih kurang dilaksankan oleh penganutnya sendiri. 

Aku harap aku adalah seorang Indonesia yang tangguh jika telah dewasa nanti. Tidak hanya menjadi sampah negara yang memperpadat penduduk. Semoga aku bisa sedikit saja, walau hanya setitik, sedikit saja berkontribusi untuk tanah airku tanah tumpah darahku.

Maafkan aku yang sering mencelamu, maafkan aku yang hanya bisa bicara keburukanmu, maafkan mulut manusia yang gemar mengeluh ini, maafkan aku yang sering menguap saat dikibarkan nya bendera pusaka padahal Sang Saka Merah Putih ialah simbol ketangguhan dan kesabaran yang luar biasa dari para pejuang, maafkan aku sering kali lalai saat mendengarkan Guru Sejarah memaparkan rentetan kisah identitasmu  agar kami penerus bangsa memiliki nasionalisme yang tinggi, maaf kanaku belum bisa membuktikan kesetiaan ku padamu INDONESIA ku. 

Kini aku sadar, mencintai sejarah bukan berarti gamon (gagal move on) tapi mempelajari siapa aku dan diamana aku berdiri. Aku hanya akan move on dari keterpurukan moral , tapi aku takkan pernah berhenti mencintaimu. Walau siapa yang sedang duduk di atas sana, tidak peduli siapa yang tengah berbangga diri di atas namamu, aku tetap warga Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disusun dengan kerja keras para founding father agar sesuai dengan nilai agama dan karakter bangsa Indonesia.

Dirgahayu Republik Indonesia, HUT  RI ke-71. MERDEKA!!!! 

“Merdeka atau Mati” -Bung Tomo 

“Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” -Ir. Soekarno

“Beri aku 1000 orang tua, niscaya kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” -Ir. Soekarno 

 "Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki." -Moh. Hatta 

 Bissmillaahirrohmaanirrohiim.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا



Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Rabu, 10 Agustus 2016

Persahabatan : Mengapa Memilih Mereka karena Logika?



Sahabat, Sohib, teman, kawan atau apapun kita menyebut mereka. Yang jelas mereka adalah salah satu faktor pendukung besar di skenario hidup setiap orang. Tidak berlebihan untuk menyebut mereka sebagai pelaku yang menyebabkan perubahan bagi kita, baik itu perubahan ke sisi yang lebih baik atau sebaliknya. 

Tidak seperti hubungan lain. Hubungan pertemanan adalah suatu hubungan yang unik. Tanpa adanya suatu ikatan, pertemanan dapat serta-merta terjalin. Seperti kita tahu, hubungan keluarga terjalin karena adanya hubungan darah atau sambung menyambung antara satu keluarga ke keluarga lainnya. Kemudian hubungan kepada pasangan, terjalin karena ada rasa ketertarikan, ingin memiliki atau rasa cinta. Dan hubungan keluarga serta pasangan ini bisa dibilang hubungan yang konsisten. Sedangkan hubungan pertemanan bisa dibilang hubungan yang singkat. Bisa saja dalam satu tahun, seseorang dapat berganti-ganti teman serta pergaulan. 

Pada dasarnya sifat manusia selalu menginginkan yang lebih baik. Begitu juga memilih teman serta pergaulan, setiap orang berhak memilih dengan siapa ingin berteman dan di lingkungan yang bagaimana dia ingin bersosialisasi. Itulah alasan mengapa banyak orang yang sering gonta-ganti pergaulan. 

Seiring berjalannya waktu, usia setiap orang bertambah, begitu pula dengan pola pikir dan pengendalian emosi. Seseorang butuh pertner yang sejalan dan sevisi. Partner itu bisa jadi keluarga, pasangan dan tentu teman. Tidak selamanya kita berada di tengah-tengah keluarga kita. Adakalanya kita mencari orang di luar sana yang dapat diajak untuk berdiskusi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan. 

Tidak salah kita berteman dengan segala macam bentuk manusia agar tidak terkesan pilih-pilih teman, tapi yakinlah perlu seribu kali berpikir untuk menjadikan orang lain sebagai “teman dekat atau sahabat”. Jadi tidaklah salah jika konsep pemikiran kita  adalah memilih teman dekat harus hati-hati dan beribu kali berpikir. Karena seperti yang sudah dikatakan di atas, teman adalah salah satu faktor yang dapat menciptakan perubahan serta partner untuk mencapai visi dan ambisi. 

Kira-kira begitulah konsep tentang pertemanan yang saya pikirkan. Tidak hanya kenyamanan, banyak faktor lain yang dipertimbangkan dalam memilih teman. Tidak luput dari hal kecil seperti hobi namun tetap terfokus pada persamaan karakter, visi dan ambisi bersama yang sekiranya dapat dipersatukan. Oleh sebab itu tidak heran jika kita bisa saja bergonta ganti teman agar sampai pada titik nyaman.

Lantas bagaimana dengan mereka yang konsisten pada persahabatan? 

Jelas ada orang-orang seperti itu, walaupun kadang tidak sedekat atau seakrab yang dahulu karena kendala jarak yang memisahkan. Atau bahkan ada yang masih seakrab dan sedekat dahulu tanpa ada rasa canggung walaupun mereka sempat terpisah oleh beberapa aspek. 

Jika kita dibesarkan oleh lingkungan yang sama, bisa saja hubungan persahabatan tersebut  tetap konsisten. Karena banyak hal yang dipelajari dan dirasakan bersama. Tapi ketika sudah terpisah jarak atau mental serta emosi yang dikendalikan berbeda-beda maka terkadang kenyamanan dahulu yang sempat dirasakan bersama lama-kelamaan sirna dihancurkan oleh pemikiran yang telah ditanamkan masing-masing orang. 

Sedikit sekali kemungkinan sifat dan pemikiran seseorang tidak berubah. Semakin dewasa seseorang, pasti ia akan menemukan siapa dirinya dan harus dimana dia berbaur. Sulit untuk menjawab pertanyaan “kenapa bisa masih akrab seperti dulu padahal....” padahal dan padahal lain yang sebenarnya bisa saja menjadi faktor pemicu jarak diantara mereka yang bersahabat. 

Kita yang sudah dewasa tidak lagi mencari teman untuk bermain. Tidak seperti zaman taman kanak-kanak dulu yang mencari teman tanpa logika. Karena hal penting saat itu adalah ada teman main petak umpet, main ayunan dan bisa kejar-kejaran sambil tertawa ria. 

Karena pada dasarnya setiap anak masih memiliki pemikiran polos, tidak perlu menjadi ini atau itu agar bisa tertawa bersama. Pertengkaran kecil adalah hal lumrah dan bahkan merupakan bumbu terciptanya tawa. Masa kanak-kanak tak mengenal rahasia. Semua hal menyenangkan memang harus dibagikan kepada sahabat-sahabat. Tidak ada kata-kata beper, karena tujuan semua anak sama yaitu bermain dan tertawa bersama. Tidak ada perasaan menyaingi atau disaingi. 

Tapi itu dulu, masa dimana pahit dan getir kehidupan belum dirasakan. Jauh sebelum seseorang belajar bagaimana mencari jati diri. Jauh sebelum kata sahabat sejati itu dipertanyakan keberadaannya. Sekarang sudah berbeda. Karena bukan sahabat sejati yang tengah dicari, tapi jati diri.